Kota pintar bukan lagi konsep futuristik. Tahun 2025 menandai munculnya Smart City 2.0, di mana kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT) saling terhubung untuk menciptakan ekosistem perkotaan yang mandiri, efisien, dan manusiawi.
Tokyo, Dubai, dan Singapura menjadi pelopor dengan meluncurkan sistem transportasi berbasis AI, pengelolaan sampah otomatis, serta jaringan listrik pintar (smart grid) yang menyesuaikan konsumsi energi real-time.
Salah satu proyek terbesar datang dari Seoul, Korea Selatan. Pemerintah kota menerapkan AI Urban Management Platform, sistem yang mampu menganalisis 1,2 juta data lingkungan setiap jam — mulai dari polusi udara hingga kepadatan lalu lintas. Sistem ini kemudian secara otomatis mengatur lampu lalu lintas, ventilasi terowongan, dan bahkan suhu ruang publik.
Teknologi ini juga membawa dimensi sosial baru. Melalui sensor IoT dan kamera analitik, layanan darurat bisa tiba di lokasi kecelakaan dalam waktu di bawah 3 menit. Penduduk dapat melaporkan masalah kota hanya lewat asisten suara berbasis AI.
Meski begitu, isu privasi menjadi perdebatan serius. Pengawasan digital yang berlebihan berisiko melanggar kebebasan individu. Para ahli menekankan pentingnya etika AI dan transparansi algoritma agar Smart City benar-benar melayani manusia, bukan sebaliknya.

